Tahukah Anda Bank Indonesia Milik Siapa

bankindonesia1Bank sentral merupakan perusahaan swasta yang diberi hak monopoli untuk mencetak uang. Kebanyakan orang, warga negara di hampir negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya bukanlah terbitan pemerintah setempat. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai “bank sentral”. Sebelum adanya bank sentral, sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan kepada hanya satu pihak saja. Memang kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau nasionalisme, sesuai negara masing-masing.

Bank sentral milik keluarga-keluarga

Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ini dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hanover (7%), dsb. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainya.

Bahkan kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham milik Federal Reserve AS hanya dimiliki oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan dengan saksama, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menentukan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung di kontrol oleh London Connection, yaitu Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rotschild.

Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemiliknya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat inggris tetapi milik bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rotschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out hutang negara saat terjadi krisis di inggris. Deutsche Bank bukanlah bank milik rakyat jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.

Shanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt yang didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh Prereire bersaudara, Credit Mobilier, dari Prancis. Demikian seterusnya.

Jadi bank-bank nasional seperti ini, sebenarnya adalah sindikat keuangan internasional, modal antar bangsa yang secara riil tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas. Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatas namakan warga negara.

Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.

Bank Indonesia milik siapa?

Kalau bank-bank sentral di negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia? Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya kita ajukan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kita tahu, rupiah pun diterbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli untuk itu. Kita tidak pernah diberi tahu siapa pemegang saham BI. Tapi, marilah kita tengok sejarah asal-muasal bank sentral di Indonesia ini.

Begitu Indonesia dinyatakan merdeka, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dan menerbitkan uang kertas pertamanya, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia), dengan standar emas. Setiap Rp 10 didukung dengan 2 gr emas. Ini artinya rupiah dijamin dengan 1/5 gram emas per rupiah.

Tapi, ketika Ir Soekarno dan Drs M Hatta menyatakan kemerdekaan RI, Pemerintah Kolonial BBelanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk dipenuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara militer, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah menunjukkan pada kita, terjadilah perundingan itu, 1949, dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB).

Melalui KMB 1949, disepakatilah beberapa kondisi pokok agar RI dapat pengakuan Belanda. Pertama, penghentian BNI sebagai bank sentral republik, dan digantikan oleh N.V De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda, yang berganti nama menjadi Bank Indonesia. Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu percetakan ORI sebagai wujud kedaulatan republik baru itu dihentikan, digantikan dengan Uang Bank Indonesia (direalisasikan sejak 1952). Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar AS kepada para bankir swasta itu tentunya diambil alih dan menjadi dosa bawaan republik baru ini.

Kondisi ini berlangsung sampai pertengahan 1965, ketika Bung Karno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencengkeram bangsa muda ini. Maka, Agustus 1965, Bung Karno memutuskan menolak kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia di Indonesia, bahkan menyatakan merdeka dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebelumnya, antara 1963-1965, Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia, serta Amerika, sebagai kelanjutan dari pengambilan aset-aset perusahaan Belanda, pada masa 1957-1958.

Tapi Bung Karno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini. Ir Soekarno harus enyah dari Republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Dengan enyahnya Ir Soekarno, neokolonialisme bukan saja kembali, tetapi semakin kuat. Tindakan pertama Jenderal Soeharto 1967 adalah mengundang kembali IMF dan Bank Dunia dan kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.

Neokolonialisme berlanjut

Berkuasanya Orde Baru, di awah Jenderal Soeharto, menjadi alat kepanjangan neokolonialisme melalui pemberian paket bantuan pembangunan. Untuk dapat membangun, bagi bangsa-bangsa terbelakang, miskin dan bodoh, dalam definisi baru sebagai “Dunia Ketiga” yang baru merdeka ini tentu memerlukan uang. Maka disediakan paket bantuan, termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elite, tepatnya mengindoktrinasi mereka, dengan ilmu ekonomi pembangunan manajemen pemerintahan, plus pinjaman lunak bantuan pembangunan , lewat lembaga-lembaga keuangan internasional (dengan dua lokomotifnya yaitu IMF dan Bank Pembangunan/Bank Dunia).

Segelintir elite baru ini diajarkan ekonomi neoklasik, dengan model pembiayaan melalui defisit anggaranya, dengan teknik Repelita bersama mimpi-mimpi elusif Rostovian-nya (teori Tinggal Landas yang terkenal itu), sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang negara yang disulap menjadi proyek-proyek pembangunan dan diwadahi dalam APBN. Untuk hal-hal teknis, para teknorat tersebut kemudian didampingi oleh para konsultan spesial, para economic hit men sebagaimana dipersaksikan oleh John Perkins itu. Semuanya, dilabel dengan nama indah, “Kebijakan dan Perencanaan Publik.

Maka, utang luar negeri Indonesia yang hanya 6.3 miliar dolar AS di akhir masa Soekarno (dengan 4 miliar dolar di antaranya adalah warisan Hindia Belanda tersebut di atas), ketika Orde Baru berakhir menjadi 54 miliar dolar AS (posisi Desember 1997). Lebih dari sepuluh tahun sesudah Soeharto lengser, utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi lebih dari 150 miliar dolar AS. kita tahu, jatuhnya Jenderal Soeharto, adalah akibat krisis moneter yang disebabkan oleh kelakuan para bankir dan spekulan valuta asing. Tetapi, rumus klasik dalam menyelesaikan krisis moneter adalah bail out, yang artinya pemerintah atas nama rakyat harus melunasi utang itu. Ironisnya, langkahnya adalah dengan cara mengambil utang baru, dari para bankir itu sendiri!

Dan, bayaran untuk itu semua, dari ironi menjadi tragedi, adalah republik ini kini sepenuhnya dikendalikan oleh para bankir. Melalui letter of intent seluruh kebijakan pemerintah RI tanpa kecuali, hanya menuruti semua yang ditetapkan oleh para bankir. Dua di antaranya yang terkait dengan bank sentral dan kebijakan uang adalah :

Mulai 1999, Bank Indonesia yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali dilepaskan dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI. Ia tidak lagi harus akuntabel kepada Rakyat RI.

Mulai 2011 melalui UU Mata Uang (kalau disahkan) Bank Indonesia dilegalisasi sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang kertas di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini, dilakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan kemungkinan pengecualian atas mata uang kertas tertentu, yang bisa kita duga maksudnya, tentu saja adalah dolar AS.

Oleh : Zaim Saidi

 

Leave a comment